Tahun itu, tamatlah riwayat
kekaisaran Persia.Yazdajird, kaisar terakhir Persi wafat di pengasingan,
sementara seluruh harta, prajurit dan kerabat istana menjadi tawanan kaum
muslimin.Semuanya diangkut ke Madinah al-Munawarah.
Kemenangan kaum muslimin itu menghasilkan tawanan yang berjumlah banyak, dari kalangan terhormat dan belum pernah penduduk Madinah melihat hasil ghanimah sebanyak dan begitu berharga seperti itu.Di antara para tawanan tersebut terdapat pula tiga orang putri kaisar Yazdajird.
Orang-orang memperhatikan para tawanan tersebut dan beberapa
saat kemudian sebagian mereka ikut membelinya, sedangkan bayarannya dimasukkan
ke baitul maal kaum muslimin.Tidak ada lagi yang tertinggal selain para putri
kaisar yang sangat jelita lagi masih belia.
Ketika ditawarkan untuk dijual, mereka semua tertunduk ke bumi
merasa hina dan rendah.Air mata meleleh dari kedua pipi mereka.
Ali bin Abi Thalib merasa iba
melihatnya dan berharap semoga orang yang akan membeli para putri itu adalah
orang yang bisa menghargai martabat mereka dan sanggup memelihara mereka dengan
baik, sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda, “Kasihanilah para bangsawan yang terhina.”
Dengan segera beliau mendekati Amirul
Mukminin Umar bin Khathab dan mengusulkan: “Para putri kaisar itu sebaiknya
tidak diperlakukan seperti tawanan lainnya.” Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Engkau benar, tapi
bagaimana caranya?”Ali berkata, “Umumkan harga mereka setinggi mungkin, lalu
beri mereka kebebasan untuk memilih orang yang bersedia membayarnya.”
Saran Ali disetujui dan segera
dilaksanakan oleh Umar. Putri yang pertama memilih Abdullah bin Umar, putri
kedua memilih Muhammad bin Abu Bakar, sedangkan ketiga yang dipanggil dengan
Syah Zinaan memilih Husein bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, cucu Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tak lama setelah itu, putri yang ketiga langsung memeluk Islam
dan bagus keislamannya.Sehingga dia beruntung dengan agama yang lurus, juga
dimerdekakan dan dijadikan istri oleh Husein setelah tadinya berstatus budak.
Setelah itu dia tanggalkan segala hal yang berkaitan dengan paganisme
(penyembahan berhala) dan mengganti nama “Syah Zinan” yang berarti ratunya para
wanita menjadi “Ghazalah.”
Ghazalah amat bahagia menjadi istri dari suami yang paling baik
dan paling layak untuk mendapatkan putri raja.Sehingga tiada lagi yang dia
cita-citakan selain mendapatkan karunia anak.
Beberapa waktu kemudian, Allah pun
memuliakan beliau, tidak lama kemudian beliau dikaruniai seorang anak yang
tampan. Beliau memberinya nama Ali, sama dengan nama kakeknya Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Hanya saja, kebahagiaan itu tak lama dirasakan Ghazalah.Ia
segera memenuhi panggilan Rabb-nya akibat pendarahan terus-menerus sesudah
melahirkan. Sehingga tidak ada kesempata bagi beliau untuk bersenang-senang
dengan anaknya.
Kini, anak tersebut dirawat oleh seorang budak wanita.Dia
dicintai seperti darah dagingnya sendiri, dipelihara lebih baik daripada
anaknya sendiri. Maka si kecil itu tumbuh tanpa mengenal ibu lain selain budak
wanita itu.
Menginjak usia remaja, Ali bin Husein
sangat tekun dan antusias menuntut ilmu. Madrasah pertama beliau adalah
rumahnya sendiri, rumah yang paling mulia dan gurunya pun ayahandanya
sendiri.Madrasah yang kedua adalah Masjid Nabawi asy-Syarif yang ramai
dikunjungi sisa-sisa shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
generasi pertama tabi’in.
Mereka begitu bersemangat mendidik
para putra shahabat utama. Mengajari Kitabullah, fiqih, serta riwayat
hadis-hadis nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai
dengan target dan obyek yang ditujunya. Juga menceritakan tentang perjalanan dan
perjuangan Rasulullah, tentang syair-syair Arab dan keindahannya. Mengisi hati
mereka dengan kecintaan, takut, dan ketakwaan kepada AllahSubhanahu wa Ta’ala. Dan akhirnya mereka berhasil
menjadi ulama yang mau beramal dan menjadi pembimbing bagi orang-orang yang
mendapat petunjuk.
Hanya saja hati Ali bin Husein tidaklah terkait kepada sesuatu
melebihi keterpautan hatinya terhadap Kitabullah. Tak ada hal lain yang lebih
dikagumi sekaligus ditakuti daripada kalimat-kalimat, janji dan ancaman yang
ada di dalamnya.
Jika ayat yang beliau baca menyebut-nyebut tentang surga, serasa
terbang kerinduan beliau terhadapnya. Bila membaca ayat-ayat tentang neraka,
gentar gemetar seakan melihat dan merasakan panas api di tubuhnya.
Memasuki usia dewasa, dia tumbuh menjadi seorang pemuda yang
kaya ilmu dan ketaqwaan. Penduduk Madinah mendapatinya sebagai pemuda Bani
Hasyim yang patut diteladani ibadah dan ketaqwaannya, terhormat, luas
pengetahuan, dan ilmunya, mencapai puncak ibadah dan takwanya.Sampai-sampai
setiap kali selesai wudhu terlihat wajahnya pucat pasi seperti orang
ketakutan.Bila ditanya tentang hal itu beliau menjawab, “Duhai celaka, tidakkah
kalian tahu, kepada siapa aku akan menghadap dan siapa yang akan aku ajak
berbicara?”
Melihat kepribadian beliau tersebut, kaumnya memberikan julukan
“Zainul Abidin” (Hiasan para ahli ibadah) dan julukan ini justru lebih dikenal
daripada nama aslinya. Selain itu, karena sujud yang sangat lama, penduduk
Madinah juga menyebutnya sebagai “as-Sajjad.”Dan karena jiwanya yang bersih,
dijuluki pula dengan “Az-Zakiy.”
Zainul Abidin yakin bahwa sumsum ibadah adalah doa. Beliau
sendiri paling gemar berdoa di tirai Ka’bah dengan doanya, “Wahai Rabb-ku,
Engkau menjadikan aku merasakan rahmat-Mu kepadaku seperti yang kurasakan dan
Engkau berikan nikmat kepadaku sebagaimana yang Engkau anugerahkan, sehingga
aku berdoa dalam ketenangan tanpa rasa takut dan meminta sesuka hatiku tanpa
malu dan ragu. Wahai Rabb-ku, aku berwasilah kepada-Mu dengan wasilah seorang
hamba lemah yang sangat membutuhkan rahmat dan kekuatan-Mu demi melaksanakan
kewajiban dan menunaikan hak-Mu. Maka terimalah doaku, doa orang yang lemah,
asing dan tak ada yang mampu menolong kecuali Engkau semata, wahai Akramal
Akramin…”
Thawus bin Kaisan pernah melihat Zainul Abidin berdiri di bawah
bayang-bayang Baitul Atiq (ka’bah), gelagapan seperti orang tenggelam, menangis
seperti ratapan seorang penderita sakit dan berdoa terus-menerus seperti orang
yang sedang terdesak kebutuhan yang sangat. Setelah Zainul Abidin selesai berdoa,
Thawus bin Kaisan mendekat dan berkata,
Thawus: “Wahai cicit Rasulullah, kulihat Anda dalam keadaan
demikian padahal Anda memiliki tiga keutamaan yang saya mengira bisa
mengamankan Anda dari rasa takut.”
Zainul Abidin: “Apakah itu wahai Thawus?”
Thawus: “Pertama, Anda adalah
keturunan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua, Anda akan mendapatkan syafaat dari kakek Anda dan ketiga, rahmat Allah
bagi Anda.”
Zainul Abidin: “Wahai Thawus, garis keturunanku dari Rasulullah
tidak menjamin keamananku setelah kudengar firman Allah:
“...kemudian ditiup lagi
sangkakala, maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka hari itu…”
(QS. Al-Kahfi: 99)
Adapun tentang syafaat kakekku,
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan firman-Nya:
“Mereka tiada memberi syafaat
melainkan kepada orang yang diridhai Allah.” (QS. Al-Anbiya: 28)
Sedangkan mengenai rahmat Allah, lihatlah firman-Nya:
“Sesungguhnya rahmat Allah amat
dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf: 56)
Takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki, ketakwaan Zainul
Abidin benar-benar tak terlampaui orang lain. Kebijakannya, kedermawanannya dan
sifat sebenarnya.Tak heran bila kisah hidupnya senantiasa menyemarakkan
buku-buku sejarah dan mengharumkan lembar-lembarnya dengan keluhuran budinya.
Di antaranya adalah riwayat dari Hasan bin Hasan:
Pernah terjadi perselisihan antara
aku dengan putra pamanku, Zainul Abidin.Kudatangi dia tatkala berada di masjid
bersama shahabat-shahabatnya.Aku memakinya habis-habisan, tapi dia hanya diam
membisu sampai aku pulang.Malam harinya ada orang mengetuk pintu rumahku.Aku
membukanya untuk melihat siapa gerangan yang datang.Ternyata Zainul Abidin. Tak
aku sangsikan lagi, dia pasti akan membalas perlakuanku tadi siang. Namun
ternyata dia hanya bicara, “Wahai saudaraku, bila apa yang Anda katakan tadi
benar, semoga AllahSubhanahu wa Ta’ala mengampuniku.
Dan jika yang Anda katakan tidak benar, semoga Dia mengampunimu…” Kemudian
beliau berlalu setelah mengucapkan salam.
Merasa bersalah, aku mengejarnya dan berkata, “Sungguh, aku tak
akan mengulangi kata-kata yang tidak Anda sukai.” Beliau berkata, “Saya
telah memaafkan Anda.”
Kisah lain diceritakan oleh seorang pemuda Madinah meriwayatkan,
“Ketika melihat Zainul Abidin keluar dari masjid, aku mengikutinya dan langsung
memakinya. Ternyata hal itu membuat orang-orang marah.Mereka berkerumun hendak
mengeroyok aku.Seandainya mereka benar-benar melakukannya, pastilah aku babak
belur.Untunglah ketika itu Zainul Abidin berkata, “Biarkanlah orang ini.”Maka
merekapun membiarkan diriku.
Melihat aku gemetar ketakutan, dia menatap dengan wajah
bershahabat dan menenteramkan hati, lalu berkata, “Engkau telah mencelaku
sejauh yang kamu ketahui, padahal apa yang tidak Anda ketahui lebih besar
lagi.Adakah Anda memiliki keperluan sehingga saya bisa membantu Anda?”
Aku menjadi malu sekali dan tak bisa
berkata apa-apa.Begitu melihat gelagatku, beliau memberikan baju dan uang
seribu dirham.Sejak itu setiap kali melihatnya aku berkata, “Saya bersaksi
bahwa Anda memang benar-benar keturunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Kisah berikutnya dituturkan oleh pembantunya sendiri, “Aku
adalah pembantu Ali bin Husein. Suatu kali aku disuruh memenuhi salah satu
kebutuhannya, tapi aku terlambat melakukannya.Begitu aku datang langsung
dicambuk olehnya.
Aku menangis bercampur marah sebab dia tak pernah mencambuk
siapapun sebelum itu. Aku berkata, “Allah… Allah… Wahai Ali bin Husein, mengapa
tatkala Anda menyuruhku memenuhi keperluanmu, namun setelah kupenuhi Anda
justru memukulku?”
Beliau terkejut lalu menangis mendengar
kata-kataku.Lalu berkata, “Pergilah ke Masjid Nabawi, shalatlah dua rakaat
kemudian berdoalah, ‘Ya Allah, ampunilah Ali bin Husein.”Bila engkau mau
melakukannya, engkau akan aku merdekakan.”Aku mengikuti kata-katanya.Aku shalat
dan berdoa seperti yang dimintanya.Ketika kembali ke rumahnya, diriku telah
menjadi orang yang bebas merdeka.”
Allah Subhanahu
wa Ta’ala memberikan karunia kekayaan yang melimpah kepada
Zainul Abidin. Perdagangannya selalu untung dan tanah pertaniannya subur,
dikelola para budaknya.Makin hari makin maju perdagangan dan pertaniannya
semakin bertambah banyak hartanya.
Akan tetapi Zainul Abidin tidak bersenang-senang dengan
kekayaannya itu.Sikapnya tidak berubah.Kekayaannya dimanfaatkan untuk membangun
jalan kebaikan menuju akhirat.Begitulah, kekayaan menjadi indah di tangan hamba
yang shalih.Di antara amal shalih yang beliau sukai adalah bersedekah dengan
sembunyi-sembunyi.
Di saat malam mulai gelap, beliau memikul sekarung tepung di
punggungnya, keluar menembus kegelapan malam ketika orang-orang tidur
nyenyak.Beliau berkeliling ke rumah para fakir miskin yang tak suka menadahkan
tangannya.
Tidak heran jika banyak orang miskin Madinah yang hidup tanpa
mengetahui dari mana jatuhnya rezeki untuk mereka itu. Setelah Ali bin Husein
wafat dan mereka tak lagi menerima rezeki-rezeki itu, barulah mereka menyadari
siapakah gerangan manusia dermawan itu.
Sewaktu jenazah Zainul Abidin dimandikan, terlihat ada bekas
hitam di punggungnya, sehingga bertanyalah mereka yang memandikannya: “Bekas
apa ini?” di antara yang hadir menjawab, “Itu adalah bekas karung-karung tepung
yang selalu dipikulnya ke seratus rumah di Madinah ini.” Setelah wafatnya
Zainul Abidin, terputus sudah bantuan bagi fakir miskin itu.
Pembebasan budak secara besar-besaran yang dilakukan Zainul
Abidin disebarkan oleh para perantau ke timur dan barat.Tingkah lakunya seakan
seperti dongeng yang direkayasa dan banyaknya melebihi hitungan orang yang
membilangnya.
Zainul Abidin biasa memerdekaakn budak yang bekerja dengan baik
sebagai imbalan untuk mereka.Beliau juga membebaskan budak yang terlanjur
dipukul atau dianiaya sebagai tebusan.Diriwyatkan bahwa dia telah memerdekakan
seribu orang budak dan tak pernah memakai tenaga seorang budak lebih dari satu
tahun.Kebanyakan dari mereka dimerdekakan pada malam ‘iedul Fithri, malam yang
penuh berkah. Dimintanya mereka menghadap ke kiblat dan berdoa: “Ya Allah,
ampunilah Ali bin Husein,” sebelum mereka pergi, beliau memberinya bekal dua
kali lipat untuk berlebaran agar mereka merasakan kebahagiaan yang berlipat.
Beliau dicintai dan dihromati oleh segenap penduduk Madinah.Bila
beliau berjalan menuju masjid atau kembali darinya, orang-orang selalu
memperhatikannya dari tepi-tepi jalan.
Pernah Hisyam bin Abdul Malik yang
sedang menjabat sebagai Amirul Mukminin datang ke Mekah untuk berhaji. Ketika
beliau thawaf dan hendak mencium Hajar Aswad, para pengawal memerintahkan
orang-orang supaya melapangkan jalan untuknya. Namun mereka tak mau minggir dan
tak menghiraukan rombongan Amirul Mukminin, karena itu adalah rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan semua manusia adalah
hamba-Nya.
Sementara itu dari kejauhan terdengar
suara tahlil (laa ilaaha illallah) dan takbir, di tengah-tengah
kerumunan terlihat seseorang berperawakan kecil, wajahnya bercahaya, nampak
tenang, dan berwibawa.Dia mengenakan kain dan jubah, di dahinya tampak bekas
sujud.Orang-orang berdiri berjajar, menyambut dengan pandangan penuh cinta dan
kerinduan.Dia terus berjalan menuju Hajar Aswad kemudian menciumnya.
Seorang pengawalnya menoleh ke arah Hisyam: “Siapa orang yang
dihormati sedemikian rupa oleh rakyat itu?” Hisyam berkata, “Aku tidak
tahu.”Kebetulan di dekat situ hadir Farazdak, lalu dia berkata, “Barangkali
Hisyam tidak kenal, tapi saya mengenalnya. Beliau adalah Ali bin Husein.”
Selanjutnya dia bersyair:
Orang ini, bebatuan yang diinjaknya pun mengetahuinya
Tanah Haram dan Baitullah pun mengenalnya
Dialah putra terbaik di antara hamba Allah seluruhnya
Berjiwa takwa, suci, bersih, dan luasnya ilmunya
Dialah cucu Fathimah jika Anda belum mengenalnya
Cicit dari orang yang mana Allah menutup para Nabi dengannya
Pertanyaanmu “siapa dia” tak mengurangi ketenarannya
Orang Arab dan Ajam mengenal, meski kau tak mengenalnya
Kedua tangannya laksana hujan yang semua memanfaatkannya
Manusia membutuhkan uluran tangannya
Tak ada yang dikecewakan olehnya
Tiada pernah berkata “tidak” selain dalam tasyahudnya
Kalaulah bukan karena syahadah, niscaya hanya ada kata “ya”
Menyebarkan kebaikan di tengah manusia
Sirnalah kezhaliman, miskin, dan papa
Jika orang Quraisy melihatnya pastilah berkata:
Sampai setinggi itukah kemuliaannya?
Tertunduk mata karena malu kepadanya
Merasa kerdil melihat kehebatannya
Tak pernah lupa tersenyum tatkala berkata-kata
Di tangannya tergenggam tongkat yang harum aromanya
Dari tangan manusia cerdas hidung mencium bau wanginya
Keturunan Rasulullah dia asalnya
Alangkah mulia asalnya, akhlaknya, dan juga perangainya
Semoga Allah meridhai cicit dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini
dan beliau pun ridha. Sungguh beliau adalah potret manusia yang takut kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala baik tatkala sendiri maupun
dalam keramaian, memenuhi jiwanya dengan ketakutan terhadap siksa Allah dan
harapan akan limpahan pahala-Nya.
Post a Comment