Setelah memeluk agama Islam, namanya menjadi Asiya Abdul
Zahir. Kedua orangtuanya adalah pemeluk agama Budha, tapi ia lebih merasa
sebagai seorang Kristiani karena ia sekolah di sekolah Kristen dan berada di
lingkungan umat Kristiani.
“Saya selalu meyakini keberadaan satu-satunya Sang Pencipta,
dimana semua yang ada sangat bergantung pada Sang Pencipta. Sejak usia 13
tahun, pada Sang Pencipta tunggal inilah, setiap hari saya berdoa dan memohon
petunjuk,” kata Asiya menceritakan kehidupannya sebelum masuk Islam.
“Sayang, saat itu pengetahuan saya tentang Islam masih
minim. Saya memandang Islam sebagai agama yang aneh, hanya untuk segelintir
bangsa-bangsa yang masih terbelakang, yang kebanyakan berada di Timur Tengah,
agama yang membatasi gaya hidup, khususnya bagi kaum perempuan,” sambungnya.
Asiya yang ketika itu belum mengenal Islam lebih dalam,
menganggap Islam merendahkan kaum perempuan, perempuan dalam Islam diperlakukan
sebagai budak, mengalami kekerasan fisik dan dipaksa untuk bersaing diantara
empat perempuan untuk merebut kasih sayang suami (poligami) dan suami bisa
melakukan apa saja terhadap istri-istrinya.
Asiya mengakui bahwa penilaiannya itu berdasarkan apa yang
sering ia dengar saja dan beberapa program dokumenter yang pernah ia saksikan
di televisi. Pandangannya mulai berubah ketika ia kuliah di perguruan tinggi
dan berinteraksi dengan beberapa mahasiswa muslim dari berbagai latar belakang.
“Aneh, bahkan saya merasakan diri saya aneh, saya tertarik
dengan mereka dan penasaran ingin mempelajari dan memahami agama mereka lebih
jauh.”
“Saya perhatikan mereka sangat bahagia, saya terkesan dengan
keterbukaan dan kehangatan mereka pada saya dan pada orang lain. Tapi yang
lebih penting, saya terkesan dengan kebanggaan dan rasa memiliki terhadap agama
yang selama ini selalu dikonotasikan dengan hal-hal negatif,” tutur Aisya.
Sedikit demi sedikit, ia merasa kagum pada Islam, dan
melalui proses edukasi, ia penghormatanya terhadap agama Islam bertambah besar,
bahkan jika dibandingkan dengan penghormatan terhadap agama Kristen yang selama
ini ia kenal.
Asiya terkesima ketika menyadari kesalahan tentang
pandangannya selama ini terhadap Islam, terutama panilaiannya yang salah
tentang posisi perempuan dalam Islam. “Saya menyadari realita tentang gaya
hidup Islami dan kebenaran terkait istilah yang diciptakan orang-orang Amerika
tentang ‘fundamentalisme Islam’,” kata Asiya.
“Makin banyak literatur, tanda-tanda dan bukti yang
diungkapkan pada saya, daya intelektualitas saya makin terstimulasi dan jiwa
saya, merasakan kehangatan. Saya ingin tahu semuanya tentang Islam dan saya
sudah merasakan persaudaraan dan rasa memiliki diantara orang-orang Islam,”
tukasnya.
Asiya mengungkapkan, yang paling membuatnya terkesan pada
Islam adalah, Islam adalah agama yang praktis dan bagaimana Islam memberikan
mengatur kehidupan semua makhluk hidup. “Dan atas karunia Allah, saya akhirnya
memahami kesalahan konsep teologi agama Kristen dan konsep yang sebelumnya saya
terima tanpa pertanyaan,” tambah Asiya.
Klimaks dari itu semua terjadi pada 4 Agustus 1994. Di
hadapan 20 saksi, Asiya mengucapkan dua kalimat syahadat dan secara resmi
menjadi seorang muslim.
“Saya tidak akan pernah melupakan hari penuh rahmat itu, dan
bagaimana hidup saya berubah drastis hanya dalam waktu satu tahun. Saya sering
ditanya, bagaimana rasanya menjadi mualaf dan kesulitan apa yang saya hadapi.
Meski saya tidak mau membicarakan masalah ini, saya tetap memberikan contoh apa
saja kesulitan yang saya alami,” ujar Asiya
.
Ia mengakui beratnya tantangan saat ia menjalani puasa saat
Ramadan pertamanya. Belum lagi sikap keluarganya yang belum bisa menerima
keislaman Asiya. Asiya sering menerima umpatan kasar bahkan ancaman dari
keluarganya. Dalam berbagai kesempatan, Asiya juga mengalami teror, kamarnya
diacak-acak, buku-bukunya banyak yang hilang secara misterius dan pesan-pesan
sms berisi fitnah terhadapnya, yang dikirim ke teman-teman dan orangtua
teman-teman Asiya.
“Jika saya ingin membaca, atau bicara di telepon, semuanya
dilakukan dengan cara diam-diam. Begitu pula jika saya ingin pergi ke masjid
atau tempat-tempat yang menggelar acara keislaman. Saya baru salat jika sudah
memastikan tidak ada orang di sekitar saya, dan saya juga tidak bisa
mengekspresikan kegembiraan saya saat Ramadan tiba, dan tidak berbagi
kebahagiaan melihat teman-teman muslim yang sudah mengenakan jilbab,” tutur
Asiya.
Tapi Asiya tidak menganggap semua itu sebagai penderitaan
hidupnya, karena setelah memeluk Islam, Asiya merasakan kepuasan dan kedamaian
yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. (ln/rhm)
Post a Comment