Sejarah perlu kita luruskan kembali,
agar anak cucu tidak semakin dibodohi oleh penulis-penulis yang punya maksud
tersembunyi. Siapa yang tak kenal Kapitan Pattimura? Pahlawan Nasional yang
gambarnya tertera di uang kertas Rp. 1000 keluaran tahun 2000. Perjuangannya
dalan mengusir penjajah belanda di maluku sudah tidak diragukan lagi. namun
yang menjadi masalah adalah agama yang dianutnya. Apakah ia beragama kristen
atau Islam?
Foto ini diperoleh dari Museum
Angkatan Laut di Prince Hendrik Kade, Rotterdam, Belanda, hasil lukisan
komandan marinir Belanda, Q.M.R.Verhuell, yang menumpas pemberontakan Ahmad
Lussy pada 1871. Verhuell melukis beliau saat membuat berita acara
pemeriksaannya.
Tokoh Muslim ini sebenarnya bernama
Ahmad Lussy, tetapi dia lebih dikenal dengan Thomas Mattulessy yang identik
Kristen. Inilah Salah satu contoh deislamisasi dan penghianatan kaum minor atas
sejarah pejuang Muslim di Maluku dan/atau Indonesia umumnya.
Nunu oli
Nunu seli
Nunu karipatu
Patue karinunu
Terjemahannya : “Saya katakan kepada
kamu sekalian (bahwa) saya adalah beringin besar dan setiap beringin besar akan
tumbang tapi beringin lain akan menggantinya. (demikian pula) saya katakan
kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah batu besar dan setiap batu besar akan
terguling tapi batu lain akan menggantinya”.
Ucapan-ucapan puitis yang penuh
tamsil itu diucapkan oleh Kapitan Ahmad Lussy atau dikenal dengan sebutan
Pattimura, pahlawan dari Maluku. Saat itu, 16 Desember 1817, tali hukuman
gantung telah terlilit di lehernya. Dari ucapan-ucapannya, tampak bahwa Ahmad
Lussy seorang Mujahidin yang berjiwa besar. Dia tidak takut ancaman maut.
Wataknya teguh, memiliki kepribadian dan harga diri di hadapan musuh. Ahmad
Lussy juga tampak optimis.
(Buku Sejarah Kapitan Paitimura : M
Sapija)
Ada Beberapa Catatan sejarah tentang
Dari Pattimura selain M. Nour Tawainella dalam bukunya ” Menggali sejarah dan
kearifan lokal Maluku“ :
“Verhuel Herinneringen van een reis
naar Oost Indien” (1835-1836),
J.B. Van Doren (1857), “Thomas Matulesia, Het Hoofd Der Opstandelingen Van Het
Eiland Honimoa”,
P.H. van der Kemp (1911), “Het herstel van het Nederlandsche gezag in de
Molukken in 1817″,
M. Sapija (1954), Sejarah Perjuangan Pattimura”, Penerbit Djambatan,
Ben van Kaam (1977), “Ambon door de eeuwen”,
Namun keberanian dan patriotisme Pattimura itu terdistorsi oleh penulisan
sejarah. Baik dari pemerintah belanda maupun versi M Sapija, sejarawan Indonesia
yang pertama kali menulis buku tentang Pattimura (Baca pendapat M Sapija sumber
wikipedia : Pattimura), mengartikan ucapan di ujung maut itu dengan :
“Pattimura-Pattimura tua boleh
dihancurkan, tetapi kelak Pattimura-Pattimura muda akan bangkit”.
Namun menurut M. Nour Tawainella,
juga seorang sejarawan (Baca : Kredibilitas beliau), penafsiran Sapija itu
tidak pas karena warna tata bahasa Indonesianya terlalu modern dan berbeda
dengan konteks budaya zaman itu.
Di bagian lain, Sapija menafsirkan,
“Selamat tinggal saudara-saudara”, atau “Selamat tinggal tuang-tuang”. Inipun
disanggah Tawainella. Sebab, ucapan seperti itu bukanlah tipikal Pattimura yang
patriotik dan optimis. Puncak kontroversi tentang siapa Pattimura adalah
penyebutan Ahmad Lussy dengan nama Thomas Mattulessy, dari nama seorang Muslim
menjadi seorang Kristen. Hebatnya, masyarakat lebih percaya kepada predikat
Kristen itu, karena Maluku sering diidentikkan dengan Kristen.
Kapitan Patimura adalah Muslim Taat
Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku
disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang
dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Ia bangsawan dari kerajaan Islam
Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula
dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa
Maluku disebut Kasimiliali.
Menurut sejarawan Ahmad Mansyur
Suryanegara, Pattimura adalah seorang Muslim yang taat. Selain keturunan
bangsawan, ia juga seorang ulama. Data sejarah menyebutkan bahwa pada masa itu
semua pemimpin perang di kawasan Maluku adalah bangsawan atau ulama, atau
keduanya.
Bandingkan dengan buku biografi
Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit. M Sapija menulis, “Bahwa
pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina
(Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari
Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau.
Sahulau bukan nama orang tetapi nama sebuah negeri yang terletak dalam sebuah
teluk di Seram Selatan”.
Ada kejanggalan dalam keterangan di
atas. Sapija tidak menyebut Sahulau itu adalah kesultanan. Kemudian ada
penipuan dengan menambahkan marga Pattimura Mattulessy. Padahal di negeri
Sahulau tidak ada marga Pattimura atau Mattulessy. Di sana hanya ada marga
Kasimiliali yang leluhur mereka adalah Sultan Abdurrahman.
Jadi asal nama Pattimura dalam buku
sejarah nasional adalah karangan dari Sapija. Sedangkan Mattulessy bukanlah
marga melainkan nama, yaitu Ahmad Lussy. Dan Thomas Mattulessy sebenarnya tidak
pernah ada di dalam sejarah perjuangan rakyat Maluku.
Berbeda dengan Sapija, Mansyur
Suryanegara berpendapat bahwa Pattimura itu marga yang masih ada sampai
sekarang. Dan semua orang yang bermarga Pattimura sekarang ini beragama Islam.
Orang-orang tersebut mengaku ikut agama nenek moyang mereka yaitu Pattimura.
Masih menurut Mansyur, mayoritas
kerajaan-kerajaan di Maluku adalah kerajaan Islam. Di antaranya adalah kerajaan
Ambon, Herat, dan Jailolo. Begitu banyaknya kerajaan sehingga orang Arab menyebut
kawasan ini dengan Jaziratul Muluk (Negeri Raja-raja). Sebutan ini kelak
dikenal dengan Maluku. Mansyur pun tidak sependapat dengan Maluku dan Ambon
yang sampai kini diidentikkan dengan Kristen. Penulis buku Menemukan Sejarah
(yang menjadi best seller) ini mengatakan, “Kalau dibilang Ambon itu lebih
banyak Kristen, lihat saja dari udara (dari pesawat), banyak masjid atau banyak
gereja. Kenyataannya, lebih banyak menara masjid daripada gereja.”
Sejarah tentang Pattimura yang
ditulis M. Sapija, dari sudut pandang antropologi juga kurang meyakinkan.
Misalnya dalam melukiskan proses terjadi atau timbulnya seorang kapitan.
Menurut Sapija, gelar kapitan adalah pemberian Belanda. Padahal tidak.
Leluhur bangsa ini, dari sudut
sejarah dan antropologi, adalah homo religiosa (makhluk agamis). Keyakinan
mereka terhadap sesuatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran mereka,
menimbulkan tafsiran yang sulit dicerna rasio modern. Oleh sebab itu, tingkah
laku sosialnya dikendalikan kekuatan-kekuatan alam yang mereka takuti.
Jiwa mereka bersatu dengan
kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian khusus yang dimiliki seseorang.
Kesaktian itu kemudian diterima sebagai sesuatu peristiwa yang mulia dan suci.
Bila ia melekat pada seseorang, maka orang itu adalah lambang dari kekuatan
mereka. Dia adalah pemimpin yang dianggap memiliki kharisma. Sifat-sifat itu
melekat dan berproses turun-temurun. Walaupun kemudian mereka sudah memeluk
agama, namun secara genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau
kapitan. Dari sinilah sebenarnya sebutan “kapitan” yang melekat pada diri
Pattimura itu bermula.
Perjuangan Kapitan Ahmad Lussy
Perlawanan rakyat Maluku terhadap
pemerintahan kolonial Hindia Belanda disebabkan beberapa hal :
Pertama, adanya kekhawatiran dan
kecemasan rakyat akan timbulnya kembali kekejaman pemerintah seperti yang
pernah dilakukan pada masa pemerintahan VOC (Verenigde Oost Indische
Compagnie).
Kedua, Belanda menjalankan
praktik-praktik lama yang dijalankan VOC, yaitu monopoli perdagangan dan
pelayaran Hongi. Pelayaran Hongi adalah polisi laut yang membabat pertanian
hasil bumi yang tidak mau menjual kepada Belanda. Ketiga, rakyat dibebani
berbagai kewajiban berat, seperti kewajiban kerja, penyerahan ikan asin,
dendeng, dan kopi.
Akibat penderitaan itu maka rakyat
Maluku bangkit mengangkat senjata. Pada tahun 1817, perlawanan itu dikomandani
oleh Kapitan Ahmad Lussy. Rakyat berhasil merebut Benteng Duurstede di Saparua.
Bahkan residennya yang bernama Van den Bergh terbunuh. Perlawanan meluas ke
Ambon, Seram, dan tempat-tempat lainnya.
Perlawanan rakyat di bawah komando
Kapitan Ahmad Lussy itu terekam dalam tradisi lisan Maluku yang dikenal dengan
petatah-petitih. Tradisi lisan ini justru lebih bisa dipertanggung jawabkan
daripada data tertulis dari Belanda yang cenderung menyudutkan pahlawan
Indonesia. Di antara petatah-petitih itu adalah sebagai berikut:
“Yami Patasiwa
Yami Patalima
Yami Yama’a Kapitan Mat Lussy
Matulu lalau hato Sapambuine
Ma Parang kua Kompania
Yami yama’a Kapitan Mat Lussy
Isa Nusa messe
Hario,
Hario,
Manu rusi’a yare uleu uleu `o
Manu yasamma yare uleu-uleu `o
Talano utala yare uleu-uleu `o
Melano lette tuttua murine
Yami malawan sua mena miyo
Yami malawan sua muri neyo”
Terjemahannya :
“Kami Patasiwa
Kami Patalima
Kami semua dipimpin Kapitan Ahmad Lussy
Semua turun ke kota Saparua
Berperang dengan Kompeni Belanda
Kami semua dipimpin Kapitan Ahmad Lussy
Menjaga dan mempertahankan
Semua pulau-pulau ini
Tapi pemimpin sudah dibawa ditangkap
Mari pulang semua
Ke kampung halaman masing-masing
Burung-burung garuda (laskar-laskar Hualoy)
Sudah pulang-sudah pulang
Burung-burung talang (laskar-laskar sekutu pulau-pulau)
Sudah pulang-sudah pulang
Ke kampung halaman mereka
Di balik Nunusaku
Kami sudah perang dengan Belanda
Mengepung mereka dari depan
Mengepung mereka dari belakang
Kami sudah perang dengan Belanda
Memukul mereka dari depan
Memukul mereka dari belakang”
Berulangkali Belanda mengerahkan
pasukan untuk menumpas perlawanan rakyat Maluku, tetapi berulangkali pula
Belanda mendapat pukulan berat. Karena itu Belanda meminta bantuan dari pasukan
yang ada di Jakarta. Keadaan jadi berbalik, Belanda semakin kuat dan perlawanan
rakyat Maluku terdesak. Akhirnya Ahmad Lussy dan kawan-kawan tertangkap
Belanda. Pada tanggal 16 Desember 1817 Ahmad Lussy beserta kawan-kawannya
menjalani hukuman gugur di tiang gantungan.
Nama Pattimura sampai saat ini tetap
harum. Namun nama Thomas Mattulessy lebih dikenal daripada Ahmad Lussy atau Mat
Lussy. Menurut Mansyur Suryanegara, memang ada upaya-upaya deislamisasi dalam
penulisan sejarah.
Demikian juga dalam buku Neiuw
Guinea karangan WC Klein tertulis fakta bahwa Islam masuk Papua pada 1569.
Barulah pada 5 Februari 1855, dua misionaris Kristen mendarat di Pulau
Mansinam, Manokwari, Papua. Ternyata menurut buku Penduduk Irian Barat (hal
105) sebagian besar tentara dan orang Belanda yang ditempatkan di Papua adalah
rohaniawan Gereja (misionaris Katolik dan Zending Protestan).
…Hal ini semakin menambah bukti bahwa Kristen disebarkan melalui jalan
penjajahan dan pertumpahan darah…
Hal ini semakin menambah bukti bahwa
Kristen disebarkan melalui jalan penjajahan dan pertumpahan darah. Sementara
itu Kata ‘Maluku’ diambil dari bahasa Arab muluk (Raja-Raja), wilayah Maluku
saat ini dan Papua awalnya dikuasai dan diperintah oleh para Raja Islam
(Sultan) sebelum akhirnya datang misionaris-misionaris Kristen yang
mempertahankan adat dan tradisi jahiliyyah di wilayah tersebut. Sehingga
upacara-upacara kemusyrikan dan pakaian yang tidak syar’i dipertahankan dengan
dalih pelestarian budaya. Tragisnya, ternyata hal itu dilanjutkan secara legal
oleh pemerintah kita hingga detik ini.
Dengan di publikasinya tulisan ini, kita berharap, ada tambahan referensi
pembaca untuk membantu kami untuk menguatkan fakta ini sekaligus perbaikan data
yang ada apabila masih terdapat kekurangan. Kita mengharapkan ada perbaikan
sejarah yang telah di nodai oleh segelintir manusia yang tujuannya terselubung.
(Sumber: swara mustika/Redaksi)
By :M. Nour Tawainella